Nama saya Made Irawan, lahir tepat pada tanggal 17 Agustus 1963 di sebuah kampung kecil di pulau Bali yang jauh dari keramaian kota. Menurut cerita ayah saya, sejak kecil saya itu sering sakit-sakitan, yang sakit panaslah, cacingan, atau insomnia.
Namun ayah saya sangat bangga punya anak lelaki, tak kenal lelah terus memperjuangkan saya, anak lelaki satu-satunya yang menurut adat Bali adalah yang mewarisi dan dapat meneruskan leluhurnya supaya saya bisa hidup dengan sehat.
Dan menjadi impian ayah saya untuk saya bisa hadir dalam keluarga meneruskan garis keturunan leluhurnya. Sudah banyak harta dihabiskan baik itu ternak maupun sawah guna memperjuangkan kesembuhan saya.
Tapi semua harapan ayah saya menjadi sirna, tahun 1974 bukannya saya sembuh, malah menjadi buta. Dalam istilah Bali, kalau menderita buta itu sama artinya dengan neraka dan perjalanan hidup saya di kampung sungguh membuat saya menjadi minder dan kecil. Ketika saya jalan sambil meraba-raba dengan tongkat, orang banyak berkata, "Kamu buta ya...!" Orang lain bisa beraktivitas, tetapi saya tidak bisa apa-apa. Seringkali saya merenung, kalau saya buta begini, sebenarnya kesalahan siapa? Banyak orang berkata waktu itu, bahwa semuanya itu karena suatu karma dari leluhur yang berbuat dosa dan bila saya berbuat dosa pula, maka nasib hidup saya akan bertambah.
Mendengar semua itu, hati saya menjadi bertambah takut, tidak memiliki pengharapan lagi. Menjadi orang buta saja sudah susah, apalagi akan bisa menjadi bermacam-macam rupa jelek. Tahun 1978 saya mendengar di Denpasar ada sekolah khusus untuk tuna netra. Semangat tumbuh kembali dari selama empat tahun hidup dalam tertekan. Singkat kata, saya dibantu kepala desa saya agar saya bisa masuk ke sekolah tersebut, dan ketika saya pamiy dengan ayah saya, jawabannya sungguh sederhana tapi cukup menyedihkan buat saya, "Silahkan masuk ke sekolah tersebut, sebab sekalipun di rumah sepertinya punya anak yang sudah mati, kalaupun di sekolah nanti kamu mati ya itulah jalan hidupmu." Dikatakan bahwa tidak ada lagi kebanggaan punya anak seperti saya.
Akhirnya dengan diantar oleh aparat desa, saya masuk ke sekolah tuna netra tersebut. Ternyata di sekolah tersebut ada banyak orang yang tidak bisa melihat, jumlahnya kurang lebih ada 100 orang. Dan akhirnya di sekolah itu saya dapat mengerti akan hidup ini dan tidak berputus asa seperti dahulu yang sempat muncul untuk bunuh diri.
Di sekolah itu saya banyak diajar banyak hal, mulai cuci piring, menyampu, belajar membaca dengan huruf brailley. Sudah matanya buta, buta huruf lagi. Di sekolahan itu juga sering mendapat kunjungan dari orang-orang Kristen hampir tiap bulan. Biasanya mereka mengajak doa, dibacakan firman Tuhan, dan setelah itu diberi bingkisan.
Tahun 1985 saya selesai belajar dan sudah memiliki ketrampilan pijat kesehatan, tetapi saya tidak puas kalau hanya di Bali saja, saya ingin keluar dari Bali. Sampailah saya di Pemalang untuk memperdalam ilmu pijat kesehatan selama dua tahun sampai akhirnya saya ke Jakarta. Di Jakarta saya bertekad untuk mencari gereja, sebab di Pemalang waktu sekolah lagi itu juga mendapat kunjungan dari orang-orang Kristen yang membuat saya tertarik.
Tahun 1986 saya menikah dengan seorang wanita Betawi. Pada 5 Desember 1987 saya dibaptis di Jakarta dan satu tahun kemudian istri saya juga dibaptis pada tanggal 31 Desember 1988. Saya mengambil keputusan bukan hanya sekedar dibaptis menjadi orang Kristen saja, tetapi saya akan belajar mendalami kursus-kursus Alkitab. Satu tahun ikut kursus Alkitab dan saya teruskan dengan belajar di Sekolah Tinggi Injili Indonesia.
Tahun 1990 saya sudah terlibat dalam suatu pelayanan, penginjilan, dan pemenangan jiwa-jiwa. Mulai 1990-1998 kurang lebih 200 KK yang dibaptis melalui pelayanan saya. Kerinduan saya ke depan adalah dapat lebih menjangkau para tuna netra untuk dapat lebih maju dan berkembang di dalam kasih Kristus.
Sumber : Pdm. Made Irawan (ditulis di Suara Pelayanan Edisi November-Desember 2007)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments
No responses to “Buta...Menangkan Banyak Jiwa”
Posting Komentar