Aku baru saja bercerai, sendirian membesarkan anak-anakku : Morgan, Hannah, dan Christoper, semuanya masih balita. Aku memiliki penghasilan yang lumayan sebagai peñata rambut dan memiliki rumah yang bagus. Tetapi aku merasa bersalah akan perceraianku sehingga aku memanjakan anak-anakku berlebihan. Aku membawa mereka berlibur ke tempat-tempat eksotis dan belanja sepatu-sepatu mermerek mahal, apapun yang mereka inginkan. Aku memberi mereka banyak kompensasi. Itu adalah caraku untuk menunjukkan kepada mereka hal yang kupikir adalah kasih sayang.
Pada musim semi tahun 1999 aku pergi ke Peten, Guatemala, untuk mengikuti lomba semi marathon. Sewaktu berlari, aku melihat sekelompok anak merendam kaki mereka ke cairan hitam yang lengket.
“Apa itu?” aku bertanya kepada pelari lainya. “Mereka melumuri telapak kaki mereka dengan tar karena mereka tidak memiliki sepatu,” jelasnya. “Bila berkaki telanjang, mereka akan rentan terhadap luka goresan dan bakteri. Mereka pikir tar akan melindungi kaki mereka.”
Aku memandang ke bawah dan melihat sepatu lariku yang seharga 100 dollar. Aku merasa tidak nyaman. Anak-anak itu berjalan bermil-mil dengan kaki telanjang, di sepanjang jalan kerikil yang panas.
Selama penerbangan pulang aku tidak dapat mengenyahkan hal tersebut dari kepalaku. Bagaimana anak-anak itu bisa bermain seperti anak-anak lain? Aku memikirkan anak-anakku sendiri dan betapa banyak hal yang mereka miliki. Semua dikarenakan aku merasa bersalah. Sekarang perasaan bersalah yang lain menusuk hatiku. Tuhan, prioritasku selama ini tidaklah benar. Berilah aku petunjuk bagaimana aku dapat membantu anak-anak itu.
Jawaban datang secara mendadak. Apa yang dilakukan teman krabatku dengan sepatu lama mereka? Membuangnya, biasanya masih dalam kondisi bagus. Dan anak-anak? Mereka berganti sepatu dan pakaian hampir secepat kita dapat membelikan mereka yang baru.
Aku tahu apa yang harus dilakukan – mengumpulkan sejumlah sepatu dan membawanya ke Guatemala. Aku menyampaikan gagasanku kepada teman, tetangga, anak-anakku dan semua orang yang bersedia mendengarnya. Ada yang memandangku dengan aneh dan ada juga yang memberikan sepatu bekas mereka.
“Ini Bu, sepatu ini sudah hampir tidak muat untukku,” ujar Hannah, anakku yang berumur 7 tahun, sembari menyerahkan sepatu Mary Jane berwarna hitam kesukaannya. Aku sangat bangga terhadapnya.
Tidak memakan waktu lama hingga garasiku penuh dengan berbagai macam sepatu, hingga akhirnya tumpah ruah ke halaman.
Menjelang Natal aku kembali ke panti asuhan di pinggir Kota Guatemala City. Aku berjalan dengan susah payah menuju ke pintu masuknya di mana seorang biarawati berdiri di depan pintu.
“Aku memiliki tiga kardus berisi sepatu-sepatu untuk disumbangkan,: kataku. “Silahkan masuk!” jawabnya. Aku hampir tersedak oleh suasananya, begitu miskinya. Dapatkah aku benar-benar bisa membuat perbedaan di sini? Dengan segera, anak-anak mengerumuniku. Kebanyakan berkaki telanjang. Ketika mereka melihat tumpukan sepatu kets dan sandal, mereka langsung bersemangat! Mereka terkikih satu sama lain sembari menyisiri kardus itu satu persatu.
“Sepatu-sepatu ini adalah hadiah Natal satu-satunya bagi anak-anak ini,” ujar biarawati itu dengan suara menahan tangis.
Kami memastikan tiap anak mendapat sepasang dan membiarkan sisanya untuk didistribusikan. Kurasa itulah dia – perubahan baiku. Aku mengucapkan selamat tinggal dan beranjak ke luar.
Kemudian aku mendengar suara biarawati itu. “Tunggu!” Teriaknya. Aku memutar kepalaku. “Kapan Anda akan kembali lagi?”
Itu dia, pertanyaan yang mengguncang hingga dasar hati nuraniku. Nona, ini adalah hal yang hanya dilakukan satu kali saja, bathinku. “Kami memerlukan bantuan,” ujarnya. “Kami selalu memerlukan lebih.’
Lagi-lagi dalam penerbangan pulang aku tidak dapat menghalau bayangan anak-anak tersebut dari pikiranku, seperti Tuhan menaruh hal tersebut di mataku. Sewaktu kembali ke rumah aku memberitahu teman-temanku, “Kita harus tetap melakukan hal ini.”
Aku memprakarsai berdirinya organisasi Share Your Soles. Apapun boleh, mulai dari sepatu bot hingga sandal dan selop, bahkan roller blades dan sepatu bola, disumbangkan kepada kami. Proyek ini telah berkembang melebihi rumahku. Perusahaan real-estate setempat, mendengar tentang kami dan menyumbangkan sebuah gudang. Kami mendapat sukarelawan lebih banyak dan menjadi terorganisir. Sepatu kets dicuci, sepatu pesta disemir. Sepatu untuk pemakaian sehari-hari diperbaiki.
Share Your Soles berkembang pesat hingga American Airlanes menawarkan untuk menerbangkan kami ke tempat-tempat pendistribusian di seluruh dunia secara Cuma-Cuma. Kami dapat mengirim 13.000 pasang sepatu ke korban badai Katrina di New Orleasns dan 15.000 pasang sepatu ke korban bencana Sri Lanka di Thailand.
Aku sangat menyukai tuga mengantar sepatu, dan kadangkala aku membawa anak-anakku turut serta. Itu adalah cara baruku dalam memanjakan mereka – dengan menunjukkan betapa kita diberkati dengan mampu membantu orang lain. Apakah itu dengan membawa bot musim dingin ke daerah penampungan orang Indian Amerika, sandal ke Afrika ataupun sepatu kets ke Amerika Tengah, anak-anakku suka melihat ekspresi kebahagiaan yang terpancar di wajah anak-anak yang mendapatkan sepasang sepatu. Hal itu melebihi segala hal yang mempu kubeli untuk mereka.
Sepatu bekas dapat memilki dampak besar terhadap kehidupan seorang anak: sepatu tersebut dapat menjadi sebuah sarana transportasi, sebuah perangkat pendidikan (ada anak-anak yang tidak diterima oleh sekolah bila tidak bersepatu), dan sumber kepercayaan diri. Sepasang sepatu dapat memiliki makna yang besar. Sepatu dapat mengubah hidup seseorang.
Share Your Soles telah mendistribusikan lebih dari 350.000 pasang sepatu. Semua orang, mulai dari Pramuka hingga anak-anak cacat hinggar orang-orang dengan berbagai kepercayaan turut menjadi sukarelawan. Aku bertanya kepada mereka pertanyaan yang pernah ditanyakan kepadaku: “Kapan Anda akan kembali lagi?” Aku sadar sekarang bahwa bila kita memperhatikan sekitar kita, kita dapat mengubah hidup seseorang , bahkan hidup kita sendiri.
Sumber : www.erabaru.or.id
Sepatu Bekas Yang Mengubah Hidup
01 Juli 2009
- By Tommi
Label:
Inspirasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments
No responses to “Sepatu Bekas Yang Mengubah Hidup”
Posting Komentar