Di masa kecilnya, Meida mengingat sosok ayahnya, Mulyadi, sebagai sosok bertanggung jawab, setia kepada keluarga dan tidak pernah mentelantarkan anak-anaknya. Dibandingkan adik-adiknya, Meidalah yang paling dekat dengan ayahnya. Kasih sayang Mulyadi bagi Meida begitu berlimpah. Hadiah-hadiah indah dan lucu seringkali diberikan ayahnya untuk Meida. Bagi Meida, Mulyadi adalah seorang ayah yang hebat.
Tapi sejalan dengan waktu, rasa sayang itu telah berubah menjadi kebencian yang mendalam di hati Meida. Mulyadi ternyata memiliki wanita idaman lain sampai akhirnya, saat Meida masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Mulyadi meninggalkan keluarganya demi wanita itu. Selama bertahun-tahun, komunikasi dengan Mulyadi telah benar-benar terputus. Mulyadi tidak pernah pulang ke rumah. Nafkah pun tidak pernah diberikan Mulyadi bagi keluarganya sehingga Meida harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Ratnaningsih, ibunya, berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dengan berjualan gorengan. Kerinduan Meida yang terdalam hanyalah ingin membahagiakan Ratnaningsih. Kesedihan yang tersimpan di dalam hati Meida semakin membuat kebenciannya terhadap ayahnya semakin mengental. Hati Meida dipenuhi dendam.
Peristiwa itu telah mengubah seluruh kehidupan Meida. Meida menjadi anak yang menutup diri terhadap lingkungannya sendiri. Meida susah bergaul karena pada dasarnya Meida merasa dirinya tidak bisa lagi mempercayai orang lain. Perbuatan ayahnya telah menghancurkan rasa percaya Meida kepada semua orang.
Hingga bertahun-tahun kemudian, Meida diperhadapkan kepada situasi yang selalu ia hindari. Ayahnya kembali pulang ke rumah. Api kebencian di dalam hati Meida yang sudah mengecil, kembali membara. Bagi Meida, ketidakhadiran ayahnya di dalam kehidupannya bukanlah suatu masalah. Selama ini Meida sudah berusaha untuk bertahan dan memperjuangkan hidupnya sendiri.
Kepulangan ayahnya kembali ke rumah semakin memperburuk situasi. Suasana dingin senantiasa meliputi hubungan keluarga di antara mereka. Meida dan saudara-saudaranya merasa lebih baik seandainya ayah mereka tidak hadir daripada hanya menjadi seorang ayah yang mengecewakan.
Kekecewaan itu pernah Meida ungkapkan secara langsung kepada ayahnya. Bagaimana
sakitnya perasaan Meida terhadap ayahnya. Namun ayahnya biasanya hanya menanggapinya dengan berdiam diri, tidak pernah memberikan komentar apapun. Kondisi itu pun akhirnya hanya menimbulkan sikap yang apatis bagi Meida karena Meida merasa berdebat dengan ayahnya pun tidak akan menghasilkan apa-apa.
Pada suatu hari, teman Meida mengajaknya untuk menghadiri sebuah KKR. Khotbah yang dibawakan pada malam itu membuka paradigma baru di dalam hati Meida. Bahwa sebenarnya Bapa yang di surga itu jauh lebih baik, lebih setia dan lebih mulia daripada bapa jasmani kita. Bapa surgawi adalah Pribadi yang sangat baik dan penuh pengampunan. Kebenaran itu tertancap dalam di hati Meida. Namun Meida menyadari, ia tidak sanggup mengampuni ayahnya. Tapi Meida tetap bertekad untuk mengampuni ayahnya. Paling tidak, Meida akan berusaha untuk merubah sikap dinginnya yang selalu ditunjukkannya kepada ayahnya.
Di saat Meida berusaha memperbaiki hubungannya dengan sang ayah, suatu peristiwa yang tidak disangka kembali terjadi. Peristiwa yang mengejutkan dan sangat menyakitkan kembali mengurungkan niat Meida. Tanpa disengaja, Meida membaca pesan yang dikirimkan wanita simpanan ayahnya di HP Ratnaningsih yang mengatakan kalau Meida itu bukan anak kandung ayahnya. Hati Meida sangat sakit, menyadari bahwa ayahnya sendiri yang telah mengatakan ketidakbenaran itu kepada selingkuhannya. Ayahnya pernah mencoba untuk meminta maaf kepada Meida atas peristiwa itu namun hati Meida telah benar-benar menjadi dingin. Meida tidak pernah lagi mencoba untuk menyayangi ayahnya.
Pada suatu hari, Meida bersama ayahnya pergi ke Bandung untuk memperingati 40 hari kematian neneknya. Kekakuan dan hubungan yang dingin di antara Meida dan ayahnya membuat Meida malas untuk ngobrol maupun berbasa-basi dengan ayahnya di sepanjang perjalanan. Ayahnya yang berusaha membuka percakapan dengan Meida pun tidak diindahkannya. Sepulangnya dari Bandung, kejadian yang tidak disangka-sangka itu terjadi. Supir yang mengantuk menyebabkan mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan di jalan tol.
Ratnaningsih yang diberitahu mengenai kecelakaan itu segera pergi ke rumah sakit tempat Meida dan Mulyadi dirawat. Sesampainya di sana, barulah Ratnaningsih diberitahu kalau Mulyadi sudah meninggal dunia. Meida sendiri mengalami luka yang parah dan harus segera dioperasi. Saat itu, Ratnanigsih berusaha setegar mungkin namun di dalam hatinya ia menyimpan duka yang tak terkatakan. Ratnaningsih hanya bisa berdoa, memohon kepada Tuhan untuk tidak mengambil nyawa Meida juga.
Kecelakaan tersebut telah merenggut nyawa Mulyadi dan Meida pun berada dalam keadaan koma. Namun Tuhan berbelas kasihan dan memulihkan kesehatan Meida perlahan-lahan. Meida yang tadinya lumpuh, mulai belajar berjalan kembali. Kondisi Meida yang memprihatinkan membuat Ratnaningsih tetap merahasiakan kematian Mulyadi kepada Meida. Setiap kali Meida menanyakan keberadaan ayahnya, Ratnaningsih selalu mengatakan kalau Mulyadi sedang tugas di luar kota. Ratnaningsih kuatir kalau sampai Meida shock, itu akan mempengaruhi kondisinya yang belum stabil.
Sebulan kemudian, kenyataan akan kematian Mulyadi tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Tanpa sengaja Meida membaca pesan di HP Ratnaningsih yang mengungkapkan turut berdukacita atas kepergian Muyadi. Dengan berusaha setenang mungkin, Ratnaningsih pun akhirnya mencoba menjelaskan kenyataan yang sebenarnya bahwa Mulyadi sudah meninggal dunia akibat kecelakaan itu.
Kenyataan ini kembali menimbulkan kesedihan mendalam bagi Meida. Penyesalan memenuhi hatinya karena ia tidak dapat menemani saat-saat terakhir ayahnya. Meida sadar meskipun mulutnya selalu mengatakan kebencian kepada ayahnya, tapi sebenarnya jauh di dalam hatinya Meida sangat menyayangi ayahnya. Penyesalan yang paling menyesakkan hati Meida adalah kenangan saat ayahnya mencoba untuk meminta maaf kepadanya, Meida tetap mengeraskan hatinya dan tidak dapat memaafkan ayahnya sepenuhnya. Meida merasa, saat ayahnya masih ada, ia tidak dapat membahagiakan ayahnya.
Kebenaran akan statusnya sebagai anak kandung ayahnya atau bukan tidak lagi menjadi masalah bagi Meida. Saat ini Meida hanya menyadari bahwa ia tetap sayang kepada ayahnya dan sudah mengampuni ayahnya. Karena bagi Meida, tidak ada gunanya lagi ia menyimpan kepahitan di dalam hatinya karena ayahnya juga sudah tiada. Kepahitan itu disadari Meida hanya menyiksa dan menyakiti dirinya sendiri.
Bagi Meida, kebaikan Tuhan itu luar biasa dan merupakan mukjizat karena Tuhan sudah menyelamatkan dirinya dari kematian. Dan Meida sangat bersyukur memiliki keluarga yang benar-benar membantu dan mendorongnya untuk terus melihat masa depan. Meida tahu semuanya itu berasal dari Tuhan dan tidak ada kata-kata yang cukup untuk mengungkapkan kebaikan Tuhan bagi hidupnya. (Kisah ini sudah ditayangkan 7 Januari 2008 dalam acara Solusi di SCTV).
Sumber Kesaksian :
Meida Megawati dalam www.jawaban.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments
No responses to “Ketika Semuanya Sudah Terlambat ...”
Posting Komentar