Sewaktu masih kecil, Liliana hidup susah. Papanya mempunyai tiga orang istri dan mama papanya pun selalu bertengkar, akhirnya berujung dengan perpisahan. Liliana yang berasal dari keluarga yang broken home itu akhirnya tinggal bersama mamanya.
Untuk menyambung hidup, keluarga Liliana berjualan. Liliana pun ikut membantu berjualan. Di usia yang masih begitu muda, dia terpaksa harus berhenti sekolah dan ikut menanggung beban itu. Bersama saudara perempuannya yang lain, dia berkeliling menjajakan kue-kue seperti kue bola, pisang goreng, dan lain sebagainya.
Sementara Liliana harus bersusah payah berjualan dan juga mengurus rumah, saudara laki-lakinya justru hidup enak. Mereka bisa main sepuasnya sementara dia harus mencuci pakaian mereka.
“Orangtua jaman dulu kan lebih sayang anak laki-laki…Kita sering kecewa, kita bilang anak perempuan itu seolah-olah diperas gitu, tenaganya gitu untuk cuci baju mereka (saudara laki-laki), padahal baju mereka kan berat-berat.” Kisah Liliana.
Bagi mama Liliana, anak perempuan itu harus kerja karena itulah tugas mereka, jadi waktu menikah semuanya bisa dilakukan. Kalau ditanya, kenapa saudara laki-lakinya bisa enak begitu, mamanya malah menjawab, “Sudah, itu urusan mereka. Kamu urus saja cucian ini sampai bersih…”
Liliana pasrah menerima keadaannya, dia tetap lakukan apa yang menjadi tugasnya, dia tetap lakukan sampai beranjak dewasa. Bahkan, dia tidak bisa pacaran karena begitu banyak tugas yang harus dilakukan setiap hari.
Memutuskan menikah
Liliana ingin keluar dari rutinitas yang begitu berat, jadi dia memutuskan untuk menikah. Dia berharap bisa lepas dan bebas dari persoalannya selama ini. Namun, masalah lain muncul dalam hidupnya.
Setelah menikah dan mempunyai anak, Liliana tiap hari bertengkar dengan suaminya. Tidak ada kecocokan karena suaminya ternyata yang suka judi dan suka main cewek. Sebenarnya Liliana ingin minta cerai, tapi anaknya yang menjadi halangan. Jadi, setiap hari Liliana terus menerus bertengkar dengan suaminya.
Dulu Liliana berpikir dengan mempunyai suami, ada yang bisa menanggung hidupnya, dia bisa bergantung pada suami dan berlindung padanya. “Ternyata apa yang kita harapkan jadi pelindung itu, malah bukan jadi pelindung tapi jadi bumerang..” ungkapnya selanjutnya.
Habis sudah kesabaran yang bisa Liliana berikan buat suaminya. Emosinya pun semakin memuncak. Semakin suaminya galak, dia pun ikut galak dan malah menantang. Akhirnya, Liliana ditampar oleh suaminya. Penderitaan seakan tidak pernah habis dalam hidupnya.
“Saya harus nyuci, ke pasar, ngantar anak ke sekolah, masak, rutinitas lagi akhirnya. Hidup saya jadi bermasalah, jadi tekanan lagi ketemunya. Kayaknya hidup saya kok tidak ada habisnya (masalah yang datang).”
Hidupnya yang depresi karena ulah suaminya, Liliana pun sering menggugurkan janin yang ada di kandungannya. Sudah sekitar empat kali dia menggugurkan kandungannya, karena takut suaminya tidak dapat menghidupi mereka.
Sikap suaminya pun semakin menjadi-jadi, suaminya memfitnahnya selingkuh, padahal dia baru pulang dari menggugurkan, dalam keadaan kesakitan. Akhirnya, setelah tidak tahan, Liliana pun minta cerai. Anaknya dititipkan di sebuah asrama dan ditinggalkan di sana, dengan alasan mencari uang.
Terlena oleh dunia
Namun, setelah sekian lama, Liliana terlena dengan kehidupannya dan segala yang dimilikinya. Dia sudah hidup mapan, bisa pergi ke diskotik, berjudi sampai ke Las Vegas pun dia ikuti, dia minum, dan hidup dalam kesenangan semu. Apa yang dijalaninya ini merupakan pelarian atas masa lalunya.
Dia tidak pernah dididik dengan baik sehingga dia pun melakukan perbuatan yang tidak baik. Setiap hari hidupnya diwarnai dengan judi, rokok, diskotik dan pulangnya selalu pagi. Walau sudah dinasehati oleh mamanya agar memperhatikan anaknya, Liliana seakan lupa diri.
Atas kesusahan hidup yang dia alami, sering dia nekat dan ngebut di jalan. Liliana berpikir tidak mengapa jika dia mati, jadi dia bisa terbebas dari semua masalah hidupnya. Hidup ini seakan percuma baginya. Suatu malam, ketika dia sedang ngebut-ngebutan ingin bunuh, vertigo menyerang dirinya sehingga dia membatalkan niatnya tersebut dan berhenti di jalan untuk mengistirahatkan kepalanya yang vertigo.
Memuaskan dirinya sendiri dan hidup senang adalah prinsip yang dia pegang saat itu. Bahkan, hidup dengan pria beristri saja dia jalani. Dengan lelaki ini, Liliana seperti menemukan surga. Dia bisa mendapatkan kebahagiaan dan apapun yang dia inginkan. Lelaki itu sangat memperhatikan dirinya, apabila dia sakit, maka semua obat disediakan sampai makanan diperhatikan.
Liliana pun tanpa beban menjalani kehidupan terlarangnya, kehidupan glamornya pun terus berjalan. Sampai suatu hari ada kejadian yang terjadi dalam hidupnya. Pada waktu itu, saat terjadi kerusuhan, keadaan sedang kacau balau. Saat itu, Glodok sedang kebakaran, Liliana berada di sana dan timbul suatu perasaan bahwa anaknya ada di sana, padahal dia tidak tahu saat itu anaknya ada dimana. Dia pergi Polsek namun tidak menemukan anaknya akhirnya dia pergi ke Rumah Sakit Cipto dan melihat 11 mayat di sana, yang salah satunya merupakan anaknya.
Liliana melihat dengan jelas mayat anaknya yang hangus tinggal tulang, kepalanya terbelah, otaknya kelihatan. Yang dia kenali hanya baju dan gigi anaknya. Dia berusaha tegar melihat anaknya yang telah terbujur kaku tak bernyawa. Namun dia tidak dapat memungkiri bahwa kisah itu menyisakan kepedihan dalam hidupnya.
Dia melihat masa lalunya dan masa kehilangan anaknya, dia menganggap bahwa hidup yang seperti ini tidak ada artinya, berarti hidup kita ini tidak ada apa-apanya. Dia kembali ke kehidupan lamanya. Sampai suatu ketika, dia bertemu dan berbincang-bincang dengan seorang lelaki yang baru dikenalnya.
Tuhan mendatangi Liliana lewat hamba-Nya
Bapak tersebut mengatakan bahwa Liliana mempunyai hati yang hancur, penuh banyak luka, dan berdosa karena berhubungan dengan suami orang lain. Bapak tersebut berkata kalau dia tidak bisa masuk ke surga. Liliana, yang saat itu hatinya masih bebal dan menggunakan logika, malah melawan dan beradu mulut dengan bapak tersebut.
Akhirnya, Bapak itu mengatakan bahwa Tuhan sayang pada Liliana yang dibantah oleh Liliana. “Ah, Bapak jangan begitulah. Saya ini orang duniawi. Saya orang berdosa, saya orang yang menjijikkan…”
Bapak tersebut lalu berkata, “Tuhan justru datang pada orang yang ‘sakit’. Kalau kamu sakit, ga mungkin kan kamu ke dokter? Kamu jangan keras kepala, jangan pakai logika, cukup buka hati saja kok.”
Di sana, Liliana menangis. Ternyata masih ada yang sayang padanya. Di lain kesempatan, Liliana diajak untuk berdoa dan mengakui semua dosa yang pernah diperbuatnya dan semua kepahitan dalam hidupnya. Liliana berteriak dengan keras dan dia melihat dengan jelas ada suatu tubuh hitam yang keluar dari ubun-ubunnya.
Setelah didoakan, Liliana merasakan tubuhnya begitu enteng seperti kapas. Dia merasakan kelegaan yang luar biasa karena roh jahat sudah dilepaskan dari tubuhnya oleh Tuhan. Damai dan sukacita dirasakan Liliana saat itu juga. Dia menyadari bahwa sukacita dan damai itu tidak dapat dibeli bahkan kalau punya uang 2 milyar sekalipun, yang jual pun tidak ada.
Liliana meninggalkan segala kehidupan masa lalunya. Vertigo, dendam, emosi, minuman, judi, semuanya ditinggalkan, juga pasangan kumpul kebonya. Saat ini, Liliana memimpin sebuah perusahaan. Kebaikan Tuhan yang begitu setia, yang kekal, begitu abadi untuk Liliana dan untuk kita semua.
Sumber Kesaksian: Liliana Lim/jawaban.com
(Kisah ini ditayangkan 2 September 2010 dalam acara Solusi Life di O'Channel)