Miko bertubuh kurus dan berkulit gelap, ia seorang murid kelas 6. Bagi anak seusianya, potongan tubuh Miko termasuk kecil. Setiap hari ia harus memikul tas sekolah yang beratnya 6 kg untuk mengikuti kelas bahasa Inggris, di wajahnya selalu tersirat ekspresi yang sangat tidak suka dengan hal itu, ia bahkan juga tidak pernah menyapa gurunya. Apabila sang guru melewatinya dengan senyum ramah menyapa, maka ia akan memalingkan muka sambil pergi begitu saja.
Hari Rabu, jam sekolah hanya setengah hari saja, sisa waktu Miko sepanjang sore hari adalah berkutat di tempat bimbingan belajar, sambil menyelesaikan PR nya ia pun bermain-main. Sebagian besar waktunya ia gunakan untuk tidur.
Meskipun telah tidur sepanjang sore, saat mengikuti pelajaran kelas lagi, dia tetap saja merasa ngantuk, tidak ada dorongan semangat untuk belajar, dan sering terlihat terkulai lemas di kursi seperti seonggok lumpur.
Gurunya sudah sering menasehatinya namun Miko tidak pernah berubah. Suatu kali guru pernah memarahi Miko, wajahnya langsung menampakkan ekspresi tidak senang. Dia membanting bukunya, lalu membanting pintu kelas, sehingga suasana belajar mengajar menjadi sangat tidak nyaman.
Saya pernah berdiskusi dengan ibu Miko mengenai kondisinya yang setiap hari terlihat lemas tak bertenaga.
Anak seusia Miko seharusnya penuh dengan energi, ibarat baterai basa yang berdaya penuh, namun Miko justru terlihat seperti balon yang kehabisan udara. Ibu Miko berkata bahwa setiap hari Miko harus mengerjakan PR hingga jam 12 malam, kemampuan matematikanya sangat lemah.
Apalagi saat ini telah duduk di kelas tinggi, PR juga semakin banyak dan sulit, setiap hari dia harus menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikan PR, ini juga yang menyebabkan Miko selalu tidur larut malam, sehingga berakibat mengganggu konsentrasinya.
Saya menganjurkan ibu Miko untuk mendiskusikan masalah ini dengan guru di sekolah, agar dapat mengurangi PR atau mencari cara penyelesaian lain, misalnya membimbing Miko untuk mengatur waktunya sendiri, sebab saya merasa sebagian besar waktu Miko di tempat les dihabiskan dengan berbincang-bincang, atau rebah di meja tanpa melakukan apa pun. Jika Miko bisa belajar membagi waktu, mengatur waktunya dengan lebih baik, waktunya mengerjakan PR maupun melakukan hal lainnya, ia lebih dapat mengatasi masalahnya sendiri.
Ibunya juga berpendapat tidur larut malam hingga jam 12 bagi anak seusia Miko terlalu memberatkan. Dalam usia pertumbuhan, tidur yang cukup dapat membantu pertumbuhan anak. Namun sebaliknya sang ibu justru tidak tahu harus bagaimana membantu anaknya supaya tidak tidur larut malam.
Setiap hari seusai kerja ibu Miko tiba di rumah pukul 6 – 7 malam, biasanya ia akan menemani Miko mengerjakan PR. Miko terlihat sangat letih begitu juga dirinya, sementara matematika juga tidak dikuasainya. Ia hanya mampu menemani saja, sungguh merasa sangat tak berdaya, selain hanya berusaha meminta Miko secepat mungkin menyelesaikan PR.
Masalah Miko tetap saja tidak ada jalan keluar. setiap hari ia tetap saja mengantuk dan kelelahan, raut wajahnya terlihat sangat tidak rela. PR dari tempat les tidak ada satu pun yang diselesaikannya, masuk sekolah juga ogah-ogahan.
Jika dipikir sebaliknya, ketika orang tua tiada hentinya mengirimkan anaknya ke berbagai jenis les atau pelajaran tambahan, yang menghabiskan banyak biaya, si anak juga kehilangan begitu banyak waktu, dan guru pun menghabiskan banyak energi, lalu siapakah yang mendapatkan manfaatnya?
Dengan contoh Miko ini, saya pikir kelas tambahan atau les adalah kelebihan beban baginya, bahkan untuk PR di sekolah pun Miko sudah tidak mampu, dari mana ia ada waktu dan tenaga untuk belajar ketrampilan di luar sekolah?
Orang tua menghabiskan banyak uang namun sama sekali tidak terlihat hasilnya, si anak juga menghabiskan banyak waktu namun sama sekali tidak ada perkembangan, guru pun mencurahkan banyak energi dan pikiran, semua pihak telah berkorban, namun pada akhirnya siapa yang memperoleh manfaatnya?
Jika semua ini memang bertujuan demi kebaikan si anak, dengan harapan agar si anak memiliki kemampuan lebih di kemudian hari, namun si anak sudah tidak mampu lagi menerimanya, tidak ada orang yang dapat mendengarkan suara hati nurani si anak yang menjerit minta tolong tanda menyerah, lantas siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini?
Orang tua bermaksud untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya, namun bukan berarti setiap anak dapat menerima semuanya. Bukankah orang tua harus memikirkan kembali apa yang telah diberikan kepada anaknya? Apakah yang anda berikan ini benar-benar sesuatu yang diinginkan oleh anak anda?
Mungkin si anak tidak memerlukan les setelah sekolah, mungkin yang dibutuhkannya hanyalah agar anda dapat meluangkan waktu untuk menemaninya bermain bola, menemani anak anda menonton TV, menemaninya berbincang-bincang, menemaninya makan snack.
Jika sang anak hanya membutuhkan hal yang sedemikian sederhana dan fundamental ini, sebagai orang tua, tegakah anda untuk tidak mengabulkan permintaannya yang paling mendasar tersebut?
Sumber : www.erabaru.or.id
Comments
No responses to “Orangtuaku selalu Tidak Pernah Mengerti Aku”
Posting Komentar