Albiner lahir di Balige, 12 Desember 1969. Didikan orangtua yang amat keras seolah meluncurkan Albiner ke arah kehancuran.
"Saya orang yang sayang sama papa. Jadi saya tidak ingin orang yang saya sayangi itu bersikap kasar kepada saya. Biasanya, kalau papa pukul saya, saya akan menangis sampai menjerit. Saya benar-benar kecewa," ujar Albiner memulai kisah hidupnya.
Sejak SMP Albiner sudah terkenal sebagai anak yang sangat nakal dan sering membuat malu keluarga. Pergi dari rumah dan menjalani kehidupan preman pun dilakoninya. Mencuri, mencopet, merampok, memalak orang, mabuk-mabukan dan berganti-ganti pekerjaan pun dilakukannya untuk bertahan hidup. Kota demi kota didatanginya meski ia harus tinggal di terminal. Dari Balige, Siantar, Medan, Sibolga, Duri, Pekan Baru sampai akhirnya tiba di Jakarta.
Perkelahian sesama preman di terminal Senen membuat Albiner memutuskan pergi ke Bandung. Tapi lagi-lagi Albiner terlibat perkelahian sesama preman sampai akhirnya ia membunuh salah seorang preman dari kubu lawan. Kejadian ini membuat Albiner melarikan diri ke Surabaya. Setelah menjadi gelandangan yang tidak memiliki pekerjaan selama beberapa waktu, Albiner kembali ke Bandung. Karena cerita rekan-rekannya bahwa dirinya menjadi buronan di Bandung, Albiner memutuskan kembali ke Jakarta dan mangkal di Blok M sebagai supir metromini.
Awal Pencerahan Hidup
Tahun 1993 Albiner mulai lelah menjalani hidup yang penuh problema dan ketakutan. Seorang teman menawarkan padanya untuk bermain gitar di gerejanya, yaitu gereja GBI di daerah Petukangan Utara. Tawaran itu memang diterimanya tapi hanya sekali itulah Albiner menginjakkan kakinya di gereja dan melanjutkan hidup yang jauh dari Tuhan. Akhir tahun 1994, di acara tutup tahun bersama teman-temannya, Albiner mendapat dorongan di hati supaya tahun 1995 pergi ke gereja dan ia ingin bertobat. Karena dorongan itulah awal Januari Albiner pergi ke gereja.
Albiner tersentuh ketika seorang pendeta yang menjadi gembala sidang di gereja tempatnya dulu pernah sekali bermain gitar menegurnya, "Halo Pak Albiner, yang tahun lalu main gitar di gereja ini kan?Bagaimana kabarnya Pak?"
"Saat itu jujur saya mengakui, seseorang seperti saya yang sudah lama tidak mendapat perhatian bahkan dinilai sampah masyarakat, hati saya senang bahwa ada orang yang masih memperhatikan dan peduli keberadaan saya."
Albiner menjadi rajin ke gereja sampai akhirnya dia dipercaya untuk membawa kolekte di ibadah. Albiner senang sekali sampai ia mempersiapkan segala sesuatunya untuk pelayanan itu. Hatinya ingin dekat dengan Tuhan.
Kejadian Tragis Kembali Datang
Seminggu setelah pelayanan kolekte, hari Rabu tanggal 8 Februari 1995, karena ingin mengejar jam pulang karyawan Blok M, Albiner kejar-kejaran dengan temannya sesama sopir metromini untuk duluan masuk ke terminal Blok M.
"Hari Rabu jam 9 malam saya sudah kejar-kejaran dengan metromini yang lain. Maksudnya supaya bisa duluan masuk di jalur blok M, mengejar jam pulang para karyawan yang kerja di Blok M. Saya sudah mulai kejar-kejaran dari Kebayoran Lama. Karena sepanjang jalan teman saya tidak memberikan jalan kepada saya, di Blok M itu saya pikir saya bisa melewati dia sebelum masuk jalur."
Tanpa memikirkan resiko yang akan ditimbulkan, Albiner tetap memaksa untuk duluan masuk ke terminal Blok M. Dalam penglihatan Albiner saat itu, terminal dalam keadaan kosong. Albiner tidak melihat seorang wanita paruh baya yang akan menyeberang. Tabrakan keras tak dapat dihindarkan dan tabrakan tersebut telah merenggut nyawa wanita itu. Albiner harus menanggung akibat dari perbuatannya. Ia masuk penjara.
"Di situlah sebenarnya saya agak marah sama Tuhan. Kenapa justru saat saya datang sama Tuhan, hati saya sedang berkobar-kobar, saya rajin ke gereja, dan saya begitu bahagia ketika diberikan kesempatan untuk melayani sebagai kolektan, pada saat saya merasa benar-benar sedang jatuh cinta sama Tuhan, kok malah begini. Hal itu membuat saya marah sama Tuhan sebetulnya."
Keadaan sebagai orang terhukum, Albiner merasa hidupnya tidak berharga. Teman-temannya semua meninggalkannya. Tidak ada seorangpun yang datang mengunjunginya kecuali seorang pemuda dari gereja di Petukangan Utara.
"Kalau ditanya orang pekerjaan saya apa, saya juga tidak tahu. Karena giliran saya ngerampok, saya ngerampok. Giliran nyopet, saya nyopet. Giliran ngenek, saya ngenek. AKU SAMPAH!! SAMPAH!! Dan waktu saya masuk ke Cipinang, saya tidak lagi merindukan gereja. Saya sudah menjadi seorang preman di sana."
Kembali Pada Tuhan
"Waktu pagi-pagi jam 4 saya terbangun karena napi yang tinggal di kamar 9 adalah seorang napi yang mau bertobat. Saya waktu itu tinggal di kamar 17. Pagi itu saya mendengar ia menyanyikan satu pujian, ‘Tuhan Yesus setia, Dia sahabat kita....'. Yah, saya cukup sedih juga mendengarkan lagu itu sampai sekarang. Jadi hari itulah saya dijamah Tuhan kembali."
Pagi itu Albiner tak kuasa menahan air matanya. Karena dia benar-benar merasakan Sang Bapa yang penuh kasih itu sedang memeluknya dengan cinta yang tulus. Sejak saat itu Albiner mulai mengikuti ibadah setiap hari di penjara.
Desember 1996, khotbah yang dibawakan pendeta Dirman Aritonang menjadi awal perubahan hidup Albiner secara total. Dia menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat.
"Hari Selasa saya mendengarkan khotbah pendeta Dirman Aritonang. Sebenarnya khotbahnya sederhana. Masukkan kopi ke gelas lalu tuang gelas itu maka keluar kopi, bukan? Masukkan air putih maka air putihlah yang keluar. Nah, masukkanlah sesuatu yang baik ke dalam hidupmu, maka yang baik yang keluar. Sore hari itulah, saya berhenti dari segala sesuatu yang duniawi. Hari itu juga sampai teman satu kamar saya dia sempat meragukan saya, ‘Benar ga nih?!'. Sambil dia ledek saya, dia meniupkan asap ganjanya ke muka saya. Meskipun begitu, saya tetap menolak tawarannya. Saya bilang saya sudah bertobat."
Hari Minggu tanggal 14 September 1997 Albiner dinyatakan bebas dari penjara. Setelah keluar dari penjara, Albiner sempat pesimis akan masa depannya, apalagi soal pasangan hidup. Albiner sebenarnya ingin memiliki seorang istri yang pintar berbahasa Inggris, namun ia menepis hal itu jauh-jauh karena ia sadar itu mustahil. Tapi ternyata bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Setelah bebas dari penjara, Albiner bekerja sebagai sopir pribadi pemilik salah satu perusahaan di Jakarta. Di sanalah dia bertemu dengan wanita pujaan hatinya yang bernama Marliani atau yang biasa dipanggil Nini. Albiner tetap mencoba mendekati Nini meskipun awalnya ia pesimis, tapi ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.
"Awalnya sebenarnya saya benar-benar tidak percaya diri. Saya hanya berpikir, apa salahnya mencoba. Kalau ia mau memberikan nomor teleponnya kepada saya, maka artinya saya boleh mendekati dia. Begitu saya minta nomor teleponnya dan ia memberikannya kepada saya, malamnya saya pun langsung meneleponnya."
Nini pun berkomentar mengenai awal perkenalannya dengan Albiner. "Yang paling berkesan sih waktu dia telpon, dia langsung bilang, ‘Apakah kamu mau jadi istri saya?'. Yah, saya kaget juga sebenarnya. Menyatakan perasaan kok lewat telepon. Tapi saya pikir mungkin dia orangnya memang seperti itu. Gunjingan mengenai hubungan kami pasti ada. Tapi saya hanya meyakinkan diri saya kalau memang itu jodoh yang dari Tuhan, segala sesuatunya pasti dapat kita atasi."
Bahkan teman-teman sekantornya begitu kuatir akan kedekatan Nini dengan Albiner. "Orang di sekeliling saya mungkin bisa mengatakan. ‘Kamu bodoh!! Kenapa tidak mencari yang seimbang. Seimbang dalam pendidikan dan juga seimbang dari hal lainnya. Susah sih memang kalau sudah jatuh cinta'. Saya sadar kalau dia mantan narapidana tapi saya telah menerima dia apa adanya. Karena saya lihat orang yang berpendidikan tinggi, S1, S2, karakter dan pola hidup mereka juga tidak lebih baik daripada seorang napi yang benar-benar sudah bertobat."
Melihat kesungguhan pertobatan Albiner, kantor tempat dia bekerja memberikan beasiswa kepadanya untuk belajar di sekolah teologia. Albiner pun berhasil menyelesaikan pendidikan S1-nya dan mengajak Nini untuk membangun sebuah keluarga.
Pada tanggal 4 Oktober 2001 mereka dipersatukan dalam pernikahan kudus. Tentunya bukanlah keputusan yang mudah bagi Nini untuk menikah dengan mantan narapidana.
"Saya sangat bangga sama dia. Apa yang dikatakan orang tentang masa lalu seorang napi bisa berulang kembali, jatuh dan jatuh lagi, saya pikir itu tidak akan terjadi kepada suami saya. Tuhan Yesus telah mengubahkan dia dari perilaku yang buruk menjadi perilaku yang baik."
Sampah itu kini telah berubah menjadi berharga. "Kalau ada orang yang berpikir bahwa mereka tidak mungkin bisa berubah, saya mau untuk melayani mereka dan meyakinkan kalau mereka juga bisa berubah seperti Yesus mengubahkan hidup saya," ujar Albiner menutup kesaksiannya.
Seperti ayat yang tertulis dalam 2 Korintus 5:17, Siapa yang ada dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru; yang lama sudah berlalu, sesunguhnya yang baru sudah datang. (Kisah ini ditayangkan 7 Januari 2010 dalam acara Solusi Life di O'Channel).
Sumber Kesaksian :
Albiner Simanjuntak/Jawaban.com